Menumbuhkan
Budaya Lokal Dalam Perguruan Tinggi
1.Latar
Belakang
Tentu bukannya tanpa alasan bila kita, Bangsa Indonesia, memberi perhatian khusus terhadap seratus tahun hari
kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908-20 Mei 2008. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, peringatan yang menandai
lahirnya gagasan kebangsaan Indonesia, tahun ini dirayakan secara semarak, bukan hanya oleh pemerintah, melainkan
juga elemen masyarakat yang peduli terhadap sejumlah fenomena berikut:
Pertama, perjalanan waktu satu abad, bukanlah sebuah perjalanan yang pendek. Kendati kemerdekaan Indonesia baru
akan menginjak usia 63 tahun, 17 Agustus 2008 mendatang, proses menuju kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidaklah
terjadi secara cepat (overnight) dan tanpa biaya. Setidaknya dua generasi telah mengantarkan mimpi kebangsaan
tersebut menjadi sebuah realita, yakni Generasi Boedi Oetomo 1908, dan Generasi Sumpah Pemuda 1928. Barangkali
sulit untuk mengingkari sebuah kenyataan sejarah bahwa upaya mewujudkan cita-cita merdeka, lepas dari kungkungan
pemerintah kolonial, harus ditebus dengan berbagai macam pengorbanan, mulai dari tenaga, pikiran sampai ke jiwa para
perintisnya. Sementara generasi penerus, para pendiri republik dan pemimpin selanjutnya, dengan caranya sendiri
berjuang mengisi kemerdekaan dan membuktikan kepada negara-negara bekas penjajah, bahwa kita mampu untuk
mendirikan pemerintahan sendiri, sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam konteks inilah relevansi
peringatan seratus tahun Kebangkitan Nasional itu memperoleh argumen historiknya.
Kedua, dalam memasuki satu abad usia Kebangkitan Nasional sekarang, kita seolah berada di persimpangan jalan.
Ternyata, perubahan yang kita alami tidaklah berlangsung secara linier. Alih-alih menjadi sebuah negara-bangsa yang
kian solid, pertambahan usia republik ini belakangan dirasakan telah melahirkan kekhawatiran tersendiri. Hidupnya
kembali gagasan separatis, fenomena kebebasan yang tak terkendali yang mewarnai dinamika politik akhir-akhir ini,
banyak yang menduga sebagai pencerminan dari lunturnya semangat ke-Tunggal-an dan ke-Bhinneka-an, yang justru
menjadi ciri negara bangsa Indonesia. Bila di masa-masa lalu, nasionalisme Indonesia kerap dijadikan etos perjuangan
bangsa dalam menghadapi berbagai masalah baik yang datang dari luar maupun dalam negeri, sekarang seolah
dilupakan. Karena kebebasan berpikir dan pengaruh teknologi informasi yang mampu menembus batas negara, sumber
referensi sejarah kita masa lalu mulai ditinggalkan, dan digantikan oleh globalisme. Sebagai akibatnya, kita kehilangan
lem perekat yang dapat mempersatukan segenap enerji negara-bangsa, tanpa mempedulikan latar belakang sosial dan
berbagai perbedaan yang ada.
Ketiga, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, lem perekat tersebut direkayasa dari “atas” dengan menggunakan
sistem komando yang jelas. Demi stabilitas nasional, segala kemajemukan ditolerir sejauh mendukung paradigma
pemerintah tersebut. Sebaliknya, pemerintah senantiasa bertindak tegas dalam menghadapi berbagai tafsir keragaman
yang berasal dari luar pemerintah. Termasuk keberadaan nilai-nilai kearifan lokal pun, dinafikkan demi terselenggaranya
pemerintahan yang efektif dan pembangunan. Sebagai konsekuensinya, kesatuan terlihat lebih menonjol, ketimbang
persatuan. Demi membangun harmoni politik dan kesinambungan pemerintahan, nilai-nilai lokal, searif apa pun,
diperlakukan secara lebih kritis, dan pada gilirannya dimarjinalkan dalam proses bernegara. Padahal, semua mengetahui
bahwa bangsa Indonesia lahir atas dasar kesepakatan berbagai nilai, baik yang bersifat sentripetal (pusat) maupun
sentrifugal (daerah). Dengan demikian, abai terhadap nilai lokal berarti melawan kodrat kita sebagai negara bangsa.
Karena ketiga pemikiran di atas itulah maka dalam memperingati seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional, kita perlu
memikirkan ulang esensi –lebih tepatnya lagi adalah– kontekstualisasi nasionalisme Indonesia di satu pihak, dan nilai-
nilai kearifan lokal di pihak lain. Sebagaimana judul tulisan ini terakan, pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada
relevansi keduanya bagi pencapaian cita-cita kebangsaan Indonesia sebagaimana ditekankan kembali oleh Presiden
SBY dalam Pidato Harkitnas-nya 20 Mei yang lalu, yakni Kemandirian bangsa, Peningkatan Daya saing, dan Membangun
Peradaban.
Kita semua berharap agar ketiga tujuan tersebut tidak berhenti pada mimpi, melainkan menjadi kenyataan. Kita berharap
juga agar peringatan ini bukan sekedar ritual yang menghabiskan enerji dan dana yang tidak sedikit, melainkan menjadi
sumber inspirasi seluruh bangsa, terutama para pemimpin, baik di pusat maupun daerah, untuk lebih mengutamakan
kepentingan negara-bangsa ketimbang kepentingan sendiri.
Kontekstualisasi Nasionalisme
Pada era perang kemerdekaan dan masa-masa awal republik ini lahir, wawasan kebangsaan (nationness) dan ke-
Indonesia-an diwujudkan oleh para pendiri republik dalam bentuk perang melawan penjajah (asing). Apakah Belanda,
Inggris atau pun Jepang, akan dianggap sebagai musuh bersama bila ketiga negara kolonial itu berusaha kembali
menguasai tanah air Indonesia. Hanya dengan modal wawasan kebangsaan itulah Indonesia bisa dipersatukan. Dengan
itu pula Indonesia lahir menjadi sebuah Negara Baru (New Emerging Forces-Nefos) yang ingin dihargai sederajat dengan
Negara-Negara Lama (Old Emerging Forces-Oldefos) yang sebelumnya menguasai seluruh jagat ini. Sampai dengan
berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno, relevansi pengaktualan wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an masih
sering dimunculkan dalam semangat “nation and character building”, yang anti asing terutama negara bekas penjajah
dengan segala macam antek-anteknya. Ungkapan Presiden Soekarno yang sangat terkenal “go to hell with your aid”
menjadi bukti abadi dari betapa jelasnya pilihan politik luar negeri Indonesia saat itu. Bantuan dari negara mana pun
ditolaknya bila harus ditukar dengan pendiktean mereka terhadap Indonesia.
Ketika Orde Baru lahir, kita mulai melakukan pilihan-pilihan rasional (rational choices) dan menyeleksi terhadap apa yang
disebut dengan asing. Sejauh memberi manfaat kepada pembangunan, kehadiran mereka kita terima. Dibukanya UU No
1/1967 mengenai Penanaman Modal Asing, merupakan salah satu wujud dari proses seleksi di atas. Bagi seorang
pengamat Indonesia dari Australia, Jamie Mackie, pilihan sikap politik luar negeri semacam itu dianggapnya sebagai awal
dari pragmatism kita. Menurut dia, demi mengamankan program pembangunan, pemerintahan Presiden Soeharto tidak
lagi berpegang pada idealisme lama. Sejauh memberi kontribusi terhadap proses penanaman modal, dan kehadiran
unsur asing di sini dianggap sebagai sesuatu yang positif, serta tak akan mengganggu ke-Indonesia-an kita. Karena
begitu besarnya pengaruh asing dalam era Orde Baru, Soedjatmoko kemudian memberi alasan pembenar dengan
mengatakan perlunya nasionalisme pembangunan. Dengan kata lain, ukuran dari “nation and character building pada era
Orde Baru adalah “pembangunan”. Sebuah proses perubahan berencana (planned changes) dan direncanakan oleh
pemerintahan yang teknokratik.
Kini, ketika konsep pembangunan mulai mengalami banyak distorsi dalam praktiknya, dan Perang Dingin tidak lagi
mewarnai politik internasional, bagaimana kita hendak mengaktualkan wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an di
atas. Masalahnya, banyak di antara kita yang sering terkaget-kaget dengan perkembangan mutakhir yang nampaknya lebih
memperkuat globalisme ketimbang nasionalisme. Sampai-sampai ada tulisan Jakob Soemardjo -seorang sastrawan
senior- yang merasa khawatir, jangan-jangan Sumpah Pemuda kita sekarang adalah “Dunia tanah airku, kemanusiaan
adalah kebangsaanku, dan Bahasa Inggris atau Amerika adalah bahasaku”.3
Sumpah Pemuda adalah satu hal, namun hal lain yang tak kalah pentingnya adalah substansi dan hakikatnya.
Kekhawatiran akan semakin lunturnya kecintaan terhadap kebangsaan dan ke-Indonesia-an di kalangan masyarakat kita
sekarang, bisa jadi merupakan peringatan awal dari kecenderungan yang menafikan perjuangan para pendahulu dalam
menyusun sebuah republik yang diberi nama Indonesia. Apalagi bila ukuran ini dipadankan dengan bagaimana sebagian
dari kita sekarang memahami budaya sendiri dibandingkan dengan mencangkok gaya hidup kosmopolitan, maka akan
semakin pesimis pula di dalam memandang kualitas wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an sekarang. Apalagi
dengan makin gencarnya penguasaan asing atas aset-aset ekonomi kita, sangat beralasan bila kemudian muncul
kepedulian untuk mengaktualkan persoalan ini. Barangkali, ke sanalah perhatian kita diarahkan, dan tulisan ini ingin
melihatnya dari perspektif politik.
Kekuatan Pendorong
Kebangsaan (nationality atau nationness)4 dan Ke-Indonesia-an, belakangan menjadi dua buah konsep yang semakin
menarik untuk dibahas secara lebih mendalam. Bahkan lebih dari itu, karena tak terpisahkannya makna keduanya dalam
sejarah perkembangan republik ini, maka karena dua alasan –setidaknya dari sisi politik– konsep kebangsaan dan ke-
Indonesia-an akan tetap relevan dan perlu terus disegarkan.
Pertama, dari perspektif teoritik, memang ada keperluan yang sifatnya terus-menerus untuk memperkaya wacana politik
(political discourse) kebangsaan ini. Apakah masih punya dasar-dasar empirik bagi para teoritisi untuk menggunakan
kesamaan nasib, kesamaan budaya, kesamaan musuh dan kesamaan visi sebagai semen perekat kebangsaan
kontemporer? Sebagaimana pengertian nasionalisme pernah diajarkan Ernest Renan di masa lalu, tanpa kesemuanya
itu, mustahil lahir sebuah gerakan kebangsaan yang kemudian mampu mengusir penjajah dan melahirkan sebuah
negara baru yang bebas dari penjajahan.
Dengan kata lain, nasionalisme harus ditafsirkan sebagai sebuah kekuatan inklusif dan membebaskan. Dengannya,
menurut Anthony Smith, segala bentuk-bentuk lokalitas wilayah, dialek, adat istiadat dan klan terpinggirkan. Atas nama
nasionalisme, terbentuklah sebuah negara bangsa yang besar, yang mampu memusatkan pasar, sistem administrasi,
perpajakan, dan pendidikan. Semangatnya adalah kerakyatan dan demokratik. Melalui nasionalismelah segala bentuk
sistem nilai yang feodalistik dan kekuatan penjajah yang opresif dijungkirkan. Nasionalisme, pada gilirannya akan
menjadi modal bagi lahirnya kedaulatan rakyat serta penentuan nasib mereka secara independen. Oleh karenanya
nasionalisme di abad ke-19 dan 20-an dimanifestasikan dalam gerakan elit pribumi melawan penguasa kolonial serta
berbagai sistem administrasi yang mendukungnya. Dalam konteks inilah relevansi peringatan dini sementara pihak
terhadap gejala kontemporer yang dianggapnya membahayakan persatuan dan kesatuan. Karena makin berkembangnya
kecenderungan “Sumpah Pemuda“ baru di atas, kita perlu menyegarkannya kembali. Apalagi bila hampir seluruh elemen
kehidupan kita telah digantikan oleh asing, maka tidak berlebihan pula jika ada yang mempertanyakan sejauh mana
wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an masih kita miliki?
Dari perspektif teoritik, sebenarnya ada penjelasan lain yang lebih menarik ketimbang perspektif “nasionalisme resmi”
(official nationalism) di atas. Sebagaimana secara panjang lebar dan menarik diuraikan oleh Anthony D. Smith dalam
bukunya Nationalism and Modernism (Routledge, New York, 1998) , bahwa teori nasionalisme mengalami perkembangan
dari masa ke masa dan tergantung pendekatan apa yang digunakan. Pandangan yang mengatakan bahwa bangsa
adalah sebuah entitas yang konkrit, yang didasarkan pada latar sejarah dan kehidupan sosial, masyarakatnya homogen
dan bersatu, serta mencerminkan aktor sosial dan politik utama dalam dunia modern, dalam tiga puluh tahun terakhir ini,
nampaknya tidak lagi dapat dipertahankan. Apalagi setelah Perang Dingin berakhir, basis empiriknya semakin hilang.
Negara Uni Soviet, Yugoslavia telah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil yang masing-masing memiliki
kedaulatan. Banyak negara baru lahir didasarkan pada pertimbangan etnisitas (ethno-nationalism) atau agama (religio-
nationalism).
Sejak memasuki dasawarsa 1970-an, pikiran-pikiran optimistik dan realis tentang bangsa dan kebangsaan mulai
mencair. Meskipun muncul perbedaan di kalangan para teoritisi, yang pasti mereka mengakui adanya kekuatan psikologis
dan kenyataan sosiologis tentang bangsa dan negara bangsa. Oleh karenanya, diperlukan sebuah upaya baru untuk
membangun bangsa melalui cara-cara dalam berkomunikasi, urbanisasi, pendidikan massal, dan partisipasi politik.
Yang diperlukan kemudian adalah sebuah proses pelembagaan (institutionalization). Yang mesti dikembangkan adalah
bagaimana agar proses pembangunan nasional dapat melahirkan keseimbangan, pemerataan, dan pertumbuhan
ekonomi, memberi keleluasaan terhadap partisipasi masyarakat, bukan monopoli oleh kekuatan tertentu, mendukung
proses komunikasi dan membuka ruang publik, mendorong munculnya pemerintah yang terorganisasi dengan baik dan
sangat responsif, serta mempercepat lahirnya elit yang matang dan fleksibel dalam berpolitik.
Pikiran baru mengenai nasionalisme di atas mengindikasikan bahwa monopoli interpretasi dan sentralisasi pengertian
tentang nasionalisme harus digantikan oleh demokratisasi pemahaman secara lebih substansial. Karena nasionalisme
adalah “komunitas politik yang dibayangkan” (imagined political communities), maka perlu ada sharing of ideas dan
bahkan socio-political sharing antar berbagai masyarakat pendukungnya (fellow-members). Tanpa itu semua, jangan
heran bila eksistensi nasionalisme akan terganggu, dan pada gilirannya “temuan” (invent) itu akan hilang. Apalagi untuk
negara bangsa sebesar dan sekompleks Indonesia sekarang, “justice sharing” (pembagian yang berkeadilan) antara
berbagai elemen bangsa dan daerah menjadi sebuah keharusan. Karena kemajemukan (bhinneka) menjadi dasar dari
kesatuan (Ika), menjadi mutlak sifatnya bagi siapa pun untuk memberi perhatian kepada keadilan –baik dalam bentuk
maupun substansinya– antar golongan, antar agama, antar suku, antar wilayah, antar gender, dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, nasionalisme Indonesia hanya dapat dikontekstualkan apabila kita semua memperhatikan peran
berbagai nilai-nilai lokal di dalamnya. Dengan mempercayai (trust) peran nilai-nilai lokal tersebut, berarti kita telah
menemukan kembali “modal sosial” (social capital) – yang menjadikan negara bangsa ini lahir dan terus bertahan
sampai sekarang.5
Dengan merujuk pada berbagai perkembangan empirik mengenai tumbuhnya negara-negara baru dalam beberapa
dekade terakhir ini, munculah keperluan teoritik untuk dapat mengakui adanya perspektif atau paradigm non-mainstream
tentang asal-muasal, hakikat dan kecenderungan nationalism yang selama ini dianut. Dengan kata lain, di samping
mendiskusikan sejauh mana paradigma Modernisme Klasik tentang nasionalisme masih memiliki dasar-dasar untuk
diikuti, juga perlu memperhitungkan nasionalisme dalam perspektif yang lain. Sebab, dalam kenyataannya, ada tiga
persoalan mendasar yang mendominasi teori bangsa dan kebangsaan ini.
Pertama, etik dan filosofis. Teori inilah yang menekankan arti penting bangsa dalam masalah kemanusiaan. Apakah
bangsa sebagai tujuan atau harus ditafsirkan bersama nilai-nilai yang lain. Atau haruskah bangsa dan identitas bangsa
sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau nilai yang lain.
Kedua, antropologis dan politis. Teori ini mempersoalkan batasan pengertian tentang bangsa. Bagaimana bangsa
hendak didefinisikan, apa hubungannya dengan individu dan masyarakat.
Ketiga, historikal dan sosiologis. Pendekatan ini menekankan pentingnya posisi bangsa dalam sejarah kemanusiaan.
Ikatan sejarah dan budaya menjadi semen perekat utama bangsa.
Paradigma yang meniscayakan pentingnya “nation building” ini, tentu saja tidak keliru dari perspektif teoritik dan apalagi
praksis-pragmatik. Namun tidak boleh juga dianggap sebagai memiliki kebenaran mutlak. Sebagaimana tradisi yang
berlaku dalam masyarakat akademik, apa yang disebut contending theory atau teori tandingan, mesti dianggap sebagai
sebuah keniscayaan. Dalam konteks bangsa dan wawasan kebangsaan inilah, kita dihadapkan pada dua paradigma
utama yang masing-masing memiliki landasan empirik yang cukup kuat. Pertama, paradigm Perennialism (nation
building) yang lebih menekankan pada komunitas budaya, immemorial, berakar, organik, kualitas, kerakyatan dan turun
temurun (ancestrally-based). Kedua, teori Modernism. Perspektif ini lebih menekankan pada komunitas politik, modern,
diciptakan, mekanistik, terbagi, sumber daya, konstruksi elit dan basisnya komunikasi.
Kedua, secara empirik, Indonesia kontemporer adalah Indonesia yang tidak mungkin lagi dapat membebaskan dirinya
dari pengaruh globalisme. Suka atau tidak, karena begitu pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,
tidak ada bagian dari wilayah Republik Indonesia yang tidak tersentuh olehnya. Sejak diperkenalkannya jaringan sistem
komunikasi satelit domestik (SKSD) pada akhir dasawarsa 1970-an, hubungan antar wilayah lewat jaringan tersebut kian
dipermudah. Memasuki dasawarsa 1990-an dan sesudahnya, tingkat kemudahan berkomunikasi semakin dirasakan
secara signifikan. Bukan hanya antar kota besar, melainkan juga sampai ke pelosok-pelosok wilayah terpencil di seluruh
Indonesia, telah dihubungkan oleh berbagai penyedia jaringan telepon. Dari waktu ke waktu, kecepatan dan kualitas
berkomunikasi semakin ditingkatkan. Operator telepon nirkabel, sudah bukan lagi menjadi mimpi masyarakat di
pedesaan. Bila sampai dengan 1980-an, untuk mendapatkan sambungan telepon dengan kualitas yang baik saja masih
sulit, sekarang, asal ada uang, siapa pun dapat mengakses dan menggunakan telepon seluler dan internet secara bebas.
Pada tingkat yang tidak jauh berbeda, kebebasan pun dirasakan oleh siapa pun yang ingin menonton siaran televisi.
Sampai dengan 1980-an, dominasi televisi milik pemerintah (TVRI) masih sangat jelas. Mulai dari pemilikan stasiun
televisi, maupun pengembangan programnya, sangat dimonopoli oleh pemerintah. Kendati saat itu sudah mulai dibuka
kesempatan bagi pihak swasta untuk mengembangkan stasiun televisi, mereka tidak memiliki kebebasan untuk
membuat berita. Masyarakat penonton TVRI sangat hafal dengan dua program berita di malam hari, yang pertama adalah
“Berita Pembangunan” yang disiarkan pada pukul 19.00 wib, dan kedua “Dunia dalam Berita”, muncul dua jam kemudian.
Belakangan, dengan semakin membaiknya jaringan komunikasi dan bergulirnya reformasi politik, masyarakat memiliki
banyak pilihan untuk menonton televisi. Bagi yang memiliki kemampuan untuk mengakses televisi berlangganan (paid tv),
bisa jadi akan lebih banyak menonton siaran internasional ketimbang nasional. Bahkan bila diperhatikan lebih mendalam
lagi, kendati disiarkan oleh televisi nasional, materi acaranya tidak lagi terpaku pada ke-Indonesia-an, melainkan sudah
menjangkau seluruh dunia. Pertimbangannya bukan lagi pendidikan kebangsaan, melainkan seberapa jauh materi
tersebut memiliki nilai jual.
Dalam bidang ekonomi, Indonesia telah menjadi bagian dari pasar global. Bersamaan dengan tingkat kemajuan di dunia
komunikasi tersebut di atas, pasar pun tidak lagi mengenal batas-batas ideologis dan wilayah secara jelas. Apalagi
setelah Perang Dingin berakhir, dan Kubu Komunis tidak lagi menjadi penghambat Kubu Kapitalis, maka bahasa dan
logika pasarlah yang menentukan peradaban dunia sekarang. Ditambah dengan makin mudahnya sarana transportasi,
maka jarak bukan lagi faktor krusial sekarang. Konsep “pembeli adalah raja”, dewasa ini telah digantikan oleh “penjaja
adalah raja”. Kedaulatan konsumen yang merupakan salah satu norma yang diyakini para ekonom murni di masa lalu,
sekarang tidak terlalu mudah untuk dikenali. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, penjaja mampu menentukan
selera konsumen. Bahkan lebih dari itu, negara pun kian berkurang perannya dibandingkan para aktor ekonomi pasar
sekarang. Karena diberlakukannya berbagai ketentuan rezim internasional dan rezim pasar bebas, maka intervensi politik
dalam mekanisme pasar sungguh-sungguh dijauhi. Lebih tragis lagi adalah bahwa pasar, dengan segala macam
keunggulannya, dan sistem kapitalistik dengan berbagai kelebihannya, belakangan telah menjadi penentu utama politik
internasional. Karena tiadanya pelaku pasar lain yang kuat, ekonomi pasar telah benar-benar menguasai jagad raya
sekarang. Negara dan aturan yang sebelumnya sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, sekarang
digantikan oleh berbagai idiom yang merepresentasikan pasar. Sumber nilai masyarakat sebagian besar juga berasal
dari sana. Uang dan kepuasan menjadi nyawa baru kehidupan abad ini. Berbagai norma dan ideologi lain yang kurang
konkrit, menjadi norma yang makin obsolete, dan kemudian ditinggalkan penganutnya. Termasuk konsep nation and
nationality, atau nationness, menghadapi tantangan yang tidak kecil.
Karena pemikiran dan praksis seperti dikemukakan di atas, maka sungguh layak bila kita kemudian mempersoalkan
tema seminar sebagaimana dijadikan judul tulisan ini. Betapa tidak, bila di masa lalu, pemerintah masih sangat
berperanan dalam proses pembentukan negara ini, sekarang, pemerintah dihadapkan pada berbagai kesulitan. Pertama,
sumber daya politik dan ekonomi pemerintah sendiri makin lama makin berkurang. Pemerintah kian menghadapi
kesulitan untuk memobilisasi dukungan masyarakat karena terjadinya ketimpangan antara kemampuan dengan tuntutan
publik. Sesuai dengan ideologi ekonomi kita, pemerintah mestinya mampu menjadi sebuah lembaga yang mengatur
kesejahteraan sosial. Namun dalam kenyataannya, terutama sejak krisis moneter pertengahan 1990-an sampai
sekarang, pemerintah semakin tidak berdaya menghadapi tuntutan pembangunan. Bila di masa lalu pemerintah banyak
mensubsidi masyarakat, sekarang sebaliknya, masyarakatlah yang harus melakukannya.
Kedua, lemahnya sumber daya pemerintah untuk merespon harapan masyarakat dipersulit oleh makin kompleksnya
tantangan yang dihadapi pemerintah sekarang. Proses demokratisasi yang memakan waktu dan mahal, telah menuntut
pemerintah untuk lebih memperhatikan proses politik ini ketimbang proses-proses non-politik. Mulai dari pengembangan
peran serta masyarakat, pelembagaan organisasi, pemilihan umum sampai dengan proses lobby-lobby politik, semuanya
memerlukan anggaran yang tidak kecil. Tragisnya lagi, korupsi pun bukannya semakin berkurang dengan adanya
pengawasan independen, justru sebaliknya. Sampai tulisan ini dibuat, posisi Indonesia dalam bidang yang satu ini,
masih tetap menduduki kelompok lima besar dunia. Ditambah lagi dengan tragedi bencana alam yang datang silih
berganti, semuanya memerlukan dana publik yang juga tidak sedikit. Sebagai akibatnya, harapan masyarakat luas untuk
mendapat santunan pemerintah kian sulit direalisasi. Pada gilirannya, para elit politik menikmati hasil reformasi,
sementara masyarakat luas kian jauh dari pelayanan. Tidak terlalu mengherankan bila kemudian kepercayaan
masyarakat baik terhadap hukum dan lembaga negara semakin menyusut.
Ketiga, globalisasi ekonomi telah berdampak luas terhadap perubahan ekonomi di dalam negeri. Meski pun pemerintah
tetap berusaha untuk menjalankan perannya, pengaruhnya kian terpinggirkan oleh keniscayaan nilai yang dibawa
bersamaan dengan masuknya pasar bebas dalam kehidupan masyarakat kita. Bila di masa lalu, negara masih memiliki
monopoli dan pengaruh yang kuat dalam menentukan perubahan masyarakat, sekarang tidak lagi.
Orientasi pada pasar, telah melahirkan persaingan secara bebas, yang akhirnya si besar makan si kecil, privatisasi
Badan Usaha Milik Negara telah menghilangkan otoritas pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan warganya.
Karena reformasi pula maka tatanan hukum yang dianggap sudah mapan selama ini, menjadi goyah. Munculnya
interpretasi hukum secara kontekstual, telah menjungkir-balikkan norma lama yang dianggap tidak lagi menzaman.
Karena ketentuan perundangan yang baru belum ada, sementara aturan yang lama ditolak, kepastian hukum menjadi
sebuah komoditas yang amat langka. Akibatnya, interpretasi sepihak telah menjadi sebuah instrumen perubahan. Pada
gilirannya, kebimbangan terlihat jauh lebih menonjol ketimbang kepastian hukum.
Konsekuensi Empirik
Di dalam negeri, kita bisa saja terus mengidealisasikan ke-Indonesia-an. Jati diri bangsa, atau “manusia Indonesia
seutuhnya” barangkali masih relevan untuk dipertahankan sebagai semangat bernegara. Pancasila juga mesti
dipertahankan sebagai sebuah ideologi yang mendasari persatuan antar berbagai perbedaan yang ada di Indonesia.
Namun, ada dua hal yang mesti direnungkan oleh kita semua di dalam mengidealisasikan ke-Indonesia-an di atas.
Pertama, berkat perkembangan pendidikan, semakin banyak anggota masyarakat Indonesia yang mengalami
peningkatan harapan dan sikap kritis. Di jaman penjajahan dulu saja, Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan
“Politik Etika” yang dimaksudkan untuk “membalas budi” kepada rakyat di tanah jajahan yang selama sekian waktu
dieksploitasi. Pendekatan semacam ini pula yang mestinya direalisasikan oleh Pemerintah untuk mencegah adanya
kemarahan publik. Pemerintah mestinya segera mewujudkan gagasan pemerataan ekonomi dan stabilitas politik dalam
arti yang sesungguhnya –termasuk penghargaan terhadap kearifan local (local wisdom) di dalamnya– bukan retorika
semata. Sayang sekali, sampai dengan pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun yang kelima (1989-1994), kenyataan di
dalam negeri semakin sulit digunakan untuk mendukung kepemimpinan Presiden Soeharto. Perekonomian kian terpuruk,
penegakan hukum semakin lemah, hutang luar negeri bertambah besar, daya saing Indonesia berkurang di pasar global,
stabilitas politik sangat semu, hanya di permukaan saja.
Kedua, dalam rangka menjaga identitas ke- Indonesia-an tersebut kita pun tidak mungkin mengabaikan adanya
perkembangan lingkungan yang secara sistemik dan strategik mempengaruhi tujuan bersama kita (common destiny).
Kemerdekaan Indonesia pun lahir karena adanya perkembangan nasionalisme di luar kita. Jadi sama halnya dengan
pengalaman para bapak bangsa (founding fathers) Indonesia ketika membayangkan pentingnya nasionalisme dan
kemerdekaan negara-bangsa di masa lalu, kita pun harus selalu sadar terhadap berbagai pengaruh yang ada di sekitar
Indonesia. Bahkan bila diamati lebih obyektif lagi, pengaruh luar tersebut telah menimbulkan dampak yang lebih kompleks
dibandingkan nasionalisme di masa lalu. Bila nasionalisme di masa lalu telah memperkuat persatuan kita di dalam
menghadapi musuh bersama, kekuatan eksternal sekarang justru memperlemah persatuan nasional. Berkat revolusi
teknologi, terutama di bidang informasi dan komunikasi, batas-batas negara menjadi tidak relevan lagi. Netralitas
teknologi telah merambah berbagai kultur masyarakat di seluruh belahan dunia ini. Kecenderungan pasar bebas, telah
mewarnai hubungan internasional mutakhir. Demokrasi liberal, menjadi sebuah wacana yang kian luas dijajakan. Hak
Azasi Manusia (HAM) dan persoalan Lingkungan Hidup telah muncul sebagai “ideologi baru” yang merekatkan hubungan
antara “Timur” dan “Barat”. Sayang sekali bahwa keseluruhan persoalan di atas –kelak akan dibahas lebih detail lagi–
kurang ditanggapi secara empirik (nyata) oleh negara di masa lalu.
Memang, Presiden Soeharto di masa lalu sering mengingatkan “suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, globalisasi
akan datang dan mempengaruhi perkembangan negara dan bangsa kita”. Oleh karena itu, pada masa itu, negara
memperkenalkan “Kebangkitan Nasional Kedua” yang diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan mutakhir, di
samping melestarikan negara bangsa Indonesia, di satu pihak, di pihak lain, adalah mengakomodasi pengaruh global
yang maha dahsyat tersebut. Bila para pendiri republik di masa lalu mengikrarkan “Kebangkitan Nasional Pertama”
sebagai dasar bagi lahirnya kemerdekaan Indonesia, maka kita sekarang perlu mensosialisasikan “Kebangkitan
Nasional Kedua” yang tujuannya adalah “menempatkan bangsa dan negara Indonesia yang merdeka sejajar dengan
bangsa-bangsa dalam hal kemakmuran, kemajuan, kesejahteraan dan karena itu pula dalam usaha mencerdaskan
bangsa, sehingga dapat menguasai iptek, dapat memproduksi barang dan jasa yang kompetitif”.6
Akan tetapi, apa yang disebut sebagai Kebangkitan Nasional Kedua itu ternyata tidak lebih dari sekedar pidato, yang
kurang didukung oleh usaha-usaha nyata. Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan kita bersama, jatuhnya kekuasaan
Presiden Soeharto disebabkan oleh kian lemahnya sumber legitimasi Pemerintah Orde Baru. Dalam lima Pelita
sebelumnya, pemerintah masih kuat bertahan karena pemerintah dapat menunjukkan adanya proses pembangunan di
seluruh penjuru tanah air. Walau pun politik sentralisme dan Jakarta masih tetap menjadi pusat dari segala-galanya,
sebagian besar opini publik masih mendukung kepemimpinan Presiden Soeharto. Namun, ketika peran pemerintah
dalam pembangunan kian berkurang, dan pihak swasta yang ada mulai menyalahgunakan kepercayaan pemerintah yang
dibuktikan oleh semakin besarnya hutang mereka serta hutang swasta yang dinegarakan, fundamental ekonomi
Indonesia semakin rapuh, mulai muncul tuntutan terhadap perlunya perubahan struktur di republik ini. Ekspor Indonesia
terus merosot, sebaliknya impornya meningkat. Nilai tukar mata uang Rupiah melemah dibandingkan mata uang asing.
Perusahaan nasional semakin mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan pasar global. Pengangguran marak
di mana-mana, dan hubungan antar daerah menjadi kian timpang. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
penegakan hukum tidak berjalan sesuai dengan harapan publik. Kesmua persoalan tersebut telah memperkuat basis
bagi perubahan secara mendasar di dalam penyelenggaraan negara di tanah air. Dan, 21 Mei 1998 menjadi klimaks dari
kegagalan Presiden Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya.
Lemahnya basis dukungan politik rakyat terhadap Pemerintah Soeharto semakin diperberat oleh adanya dampak
globalisasi yang yang dibawa serta oleh adanya kemajuan teknologi informasi dan sistem pasar dunia yang pada
hakikatnya tidak sesuai dengan kenyataan di Indonesia. Sebagai akibatnya, yang terjadi kemudian adalah sebuah proses
“penjajahan” budaya global terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam bidang teknologi informasi, kita semua sepakat bahwa teknologi komputer sekarang telah dijadikan pengganti
mesin tik dan alat tulis apa pun yang selama ini digunakan. Dari waktu ke waktu, teknologinya berganti begitu cepat, dan
kita pun tak luput harus mengikutinya. Karena informasi telah menjadi kebutuhan hidup, maka revolusi di bidang ini mesti
kita ikuti. Pengembangan lebih lanjut darinya adalah kemungkinan bagi pengguna komputer untuk menjadikannya
sebagai alat komunikasi dan penyalur informasi pribadi ke segala penjuru dunia, tanpa mempersoalkan latar belakang
budaya, agam, ras, gender, tingkat ekonomi, dan ideologi. Melalui teknologi informasi yang tersedia sekarang kita dapat
“ngrumpi” secara bebas dan kapan saja. Bila di masa pra-komputer, “ngrumpi” dipandang sebagai salah satu ciri
masyarakat desa, sekarang tidak lagi. Justru sebaliknya orang-orang kota yang terdidik pun telah melakukannya. Oleh
karena itu, tidak terlalu mengherankan bila Marshall McLuhan, mengatakan gejala semacam ini pada akhirnya akan
melahirkan sebuah “desa dunia” (global village). Hubungan internasional, bukan lagi milik pemerintah, terutama
Departemen Luar Negeri, tapi sudah menjadi kebutuhan pribadi. Pelakunya pun sangat beragam, mulai dari kepala
negara sampai rakyat jelata sekali pun. Subyek yang dibicarakannya juga tidak mesti yang berkaitan dengan tugas-tugas
negara dan pemerintahan, melainkan kebutuhan semua orang, mulai dari pikiran yang mendukung negara sampai ke
revolusi dan terorisme.
Globalisasi ekonomi merupakan elemen lain dari kecenderungan internasional sekarang. Sebelum Perang Dingin antara
Blok AS dan US berakhir sekitar akhir 1980-an, ada dua model sistem ekonomi yang dapat dijadikan negara baru,
termasuk Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan ekonomi nasionalnya, yakni sistem ekonomi liberal atau pasar
bebas yang merupakan ciri dari perekonomian negara-negara industri maju Barat, dan sistem ekonomi yang sentralistik
atau sosialis, yang biasanya dianut oleh negara-negara Blok Komunis. Namun, sejak memasuki 1990-an, sebagai
kelanjutan dari runtuhnya tembok komunisme, masyarakat dunia berpaling ke Blok Barat, dan menganggap sistem
ekonomi pasarlah yang mampu menciptakan kesejahteraan bangsa. Melalui bantuan luar negeri dan iklan produk
kapitalisme, negara-negara industri Barat, telah mampu mempengaruhi pasar dunia. Berbagai bentuk kerjasama dan
perdagangan internasional serta regional didirikan. Semuanya telah dijadikan instrumen yang sangat efektif di dalam
menjajakan sistem ekonomi alternatif tersebut. Sebagai akibatnya, sebagian besar negara dan masyarakat internasional,
termasuk Indonesia, sekarang berpaling kepada sistem ekonomi dunia yang baru ini.
Sementara dalam bidang sosial budaya, globalisasi telah mampu menciptakan penyeragaman gaya hidup. Pragmatisme
dan konsumerisme merupakan dampak yang paling kasat mata dari perkembangan budaya masyarakat dunia. Sebagai
akibat dari kemajuan di bidang teknologi informasi, khususnya periklanan, kecenderungan untuk memproduksi sekarang
kalah cepat dibandingkan untuk mengkonsumsi. Peran dari perusahaan multinasional yang mampu dengan cepat dan
massal menawarkan produknya, telah menggusur kesadaran kolektif akan perlunya nasionalisme ekonomi atau bahkan
jati diri bangsa. Demi mengikuti perkembangan gaya hidup global, kerja keras dan kesederhanaan diabaikan. Khawatir
dituduh tidak “trendy” dan bukan menjadi warga internasional, semangat untuk mencipta di sebagian besar negara dunia
sekarang, dianggap bukan lagi persoalan yang sangat penting.
Dari segi politik, globalisasi dibuktikan lewat penyeragaman sistem penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demokrasi
liberal sebagai standarnya, negara-negara industri maju berusaha untuk mendikte negara mana pun yang berharap dapat
memperoleh hikmah dari segala macam kemajuan di atas. Dewasa ini, tidak satu negara bebas di dunia ini yang tidak
berkenalan dengan demokrasi dan pasar bebas. Bank Dunia, Internasional Monetary Fund, World Trade Organization,
Organisasi Kerjasama Ekonomi Regional, dan bahkan PBB, telah berfungsi sangat efektif di dalam mensosialisasikan
gagasan-gagasan kebebasan di seluruh dunia. Meskipun bentuk negara merdeka masih dihargai, namun dari segi
politik, kedaulatannya sudah kian rentan. Konsep pertahan wilayah atau pun negara sekarang menjadi semakin relatif
sifatnya. Keichi Ohmae menafsirkan kecenderungan global seperti ini sebagai “dunia tanpa batas” (borderless world).
Sedangkan Immanuel Walerstein menyebutnya sebagai “sistem dunia” (world system) yang tandai oleh adanya “global
shopping centre”.
Opsi Kebijakan
Menghadapi perkembangan politik nasional dan politik global di atas serta pengaruhnya terhadap pengembangan
wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an kontemporer, apa yang mesti kita lakukan? Sembilan tahun sudah era
reformasi kita gulirkan. Empat Presiden telah memimpin Indonesia di era reformasi. Semuanya dihadapkan pada
lingkungan dan sistem nilai yang jauh berbeda dengan dua presiden Indonesia terdahulu, Soekarno dan Soeharto. Sejak
awal sangat disadari bahwa krisis yang melanda negeri ini adalah sejumlah faktor multidimensi sebagaimana disebutkan
terdahulu. Artinya, ada keharusan bagi siapa pun yang menjadi nahkoda di Republik Indonesia selanjutnya, untuk secara
sistemik dan bertahap mampu membawa negara ini sesuai dengan cita-cita reformasi, di satu pihak, dan
mengakomodasi kemajuan dunia di pihak lain. Sehingga, pada gilirannya, negara kita akan menjadi sebuah negara besar
yang patut disejajarkan dengan negara-negara lain di seluruh dunia, terhormat, modern, dan sejahtera.
Di dalam negeri, perbedaan yang ada hendaknya dapat lebih diarahkan untuk membangun kebersamaan di antara
seluruh komponen bangsa, baik di pusat maupun daerah dan antar daerah, serta antar golongan. Jangan seperti
sekarang, yang menonjol adalah pertikaian, bukan rekonsiliasi. Berkah reformasi, sentralisme politik digantikan oleh
desentralisme. Kekuatan politik dewasa ini tidak lagi dimonopoli oleh negara, melainkan sudah menyebar ke masyarakat,
baik di partai politik, organisasi massa, maupun pers dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, tidak lagi bersifat “top-down”, melainkan “bottom-up”. Akan tetapi,
fragmentasi pusat kekuasaan di atas, telah menyuburkan konflik dan perseteruan yang tidak kunjung henti, bukan justru
membangun kemajemukan dalam arti yang positif. Rebutan kekuasaan dan suasana saling mencurigai serta
ketidakpercayaan (distrust), telah menjadi warna dominan dari penyelenggaraan negara sekarang. Eksekutif dan Legislatif
bukannya saling bekerjasama membuat kebijakan public dan saling bermitra dalam mengarahkan perubahan. Justru
sebaliknya, saling menuduh. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, antara lain, merupakan salah satu bagian dari
Eksekutif yang merasa gusar dengan gejala percaloan dalam lembaga legislatif kita. Bahkan ada juga sesama
penyelenggara negara yang seolah tidak ada koordinasi sama sekali. Persaingan dan perebutan wewenang sampai
sekarang belum selesai antara Pihak Departemen Kehutanan dengan Polri dalam menentukan nasib kayu sitaan di
Provinsi Riau. Komisi Yudisial, yang semula digagas untuk menjadi sebuah kekuatan Civil Society dalam mengurangi
praktek mafia peradilan, telah tercoreng oleh anggotanya sendiri yang ternyata mempraktekkan hal yang harus diperangi
itu. Akhirnya, penyelenggaraan pemerintahan tidak fokus pada apa yang sebelumnya dijanjikan Presiden SBY dan Wakil
Presiden JK dalam kampanyenya. Yang terjadi kemudian lebih mengarah pada bagaimana caranya mempertahankan
kekuasaan, bukan menjalankannya sesuai dengan mandat yang diberikan. Reformasi birokrasi pun jalan di tempat,
karena ketiadaan visi yang sama dalam melaksanakannya. Cita-cita menjadikan Indonesia sebagai Negara Hukum
(Recht Staat) masih jauh tertinggal ketimbang apa yang secara kasat mata terjadi, yakni Negara Kekuasaan (Macht Staat).
Kesemua kecenderungan dan fenomena mutakhir di atas, tentu akan merugikan teraktualisasikannya wawasan
kebangsaan dan ke-Indonesia-an sebagaimana seharusnya menjadi modal politik dan moral sebuah negara bangsa.
Sebab, sebagai sebuah masyarakat politik (political community), Indonesia –kapanpun– membutuhkan adanya kesamaan
persepsi dan cita-cita antara elit dengan massanya, antara pemerintah dengan kekuatan non-pemerintah, antara
pemerintah pusat dan daerah, serta antara berbagai elemen negara bangsa yang lain. Tidak boleh ada yang menjadi
korban darinya. Ketika rakyat masih terbatas pengetahuan dan kesempatannya, mungkin pilihan untuk mencari sistem
nilai ataupun contoh perilaku (role model) yang lain masih terbatas. Mereka bisa saja menjadi kekuatan mayoritas diam
(silent majority), yang seolah-olah pasif dan bahkan “manut” (tunduk pada pemimpin). Tapi sekarang lain. Di era dunia
tanpa batas, berbagai sumber perubahan dapat diperoleh dari berbagai penjuru dunia, terutama pasar dan pengalaman
negara-negara lain.
Agar iklim politik yang tidak kondusif terhadap perwujudan cita-cita mulia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD
1945 tersebut tidak berlarut-larut, ada beberapa pemikiran yang perlu ditawarkan dalam kesempatan ini:
Pertama, pemerintah secara terus-menerus menunjukkan komitmennya terhadap upaya perbaikan bangsa. Kalau pun
sampai sekarang masih bersikap reaktif, dan belum didasarkan pada visi, dan bahkan rencana tindakan yang jelas,
dalam jangka pendek ke depan, pemerintah harus segera merevisi pendekatan yang “tidak mau ambil resiko ini”. Rakyat
kebanyakan sebenarnya akan dapat bersabar dan mau mendukung pemerintah bila pemerintah pun konsisten di dalam
melaksanakan fungsinya. Transparansi persoalan publik telah mendidik rakyat, dan karenanya mereka akan dapat
mengerti bahwa persoalan yang dihadapi negara-bangsa ini sangat kompleks. Dengan kata lain, kejujuran, konsistensi,
dan kemauan kerja pemerintah yang cukup keras akan dapat mengamankan proses transisi yang sedang kita jalani
sekarang. Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 23 Mei 2008 serta alasan yang
melatar-belakanginya, mesti kita tunggu hasilnya kemudian.
Kedua, pemerintah dan para elit politik harus mulai melakukan perubahan tingkah laku (behavioral changes). Terutama
dalam kaitannya dengan gaya hidup masing-masing pejabat tinggi. Mulai dari presiden sampai ke anggota kabinetnya,
pimpinan partai politik dan tokoh panutan masyarakat lainnya, perlu meneladani sebuah cara memerintah yang empati
terhadap krisis dan nasib masyarakat kebanyakan. Pendekatan elitis harus disingkirkan, bukan hanya sekedar pidato atau
menjalankan berbagai acara yang seolah bernuansa populis, namun melaksanakannya secara sistemik dan
melembaga. Aturan baru dibuat dan dilaksanakan, sehingga akan dijadikan pegangan semua pihak dalam masa-masa
selanjutnya. Depersonalisasi kekuasaan harus menjadi semangat para penyelengara negara dalam mengembangkan
berbagai kebijakan publik.
Ketiga, pemerintah tidak melihat persoalan ekonomi bangsa ini dari sekedar kacamata ekonomi murni. Bila kekurangan
anggaran selalu dikompensasi dengan pengurangan subsidi, bukan penegakan hukum dan hidup lebih berhemat,
rasanya, masyarakat paling bawah akan terus menderita. Dan ini sangat potensial untuk membangkitkan radikalisasi
massa. Bagi mereka yang ingin menggunakan kesempatan di balik kesempitan, jelas mendapat keuntungan untuk
membalikkan keadaan, dengan mengatakan bahwa pemerintah tidak well performed. Pemerintah mesti menerapkan
prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) secara konsekuen dan konsisten. Akibatnya, perlu
segera diadakan reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh. Dalam menghadapi berbagai kesulitan anggaran,
pemerintah mesti menjadi pionir untuk menerapkan apa yang dikatakan sebagai “anggaran berbasis kinerja” (money
follows function). Pemangkasan lembaga negara yang tidak diperlukan, menjadi agenda utama pemerintah. Semangat ini
pun mesti ditiru oleh Lembaga Perwakilan Rakyat kita. Ketika sumber dana pembangunan makin berkurang, DPR harus
menjadi contoh untuk melakukan penghematan, bukan mendemonstrasikan kekuasaan. Struktur lembaga ini mesti
dirampingkan, dan kinerjanya ditingkatkan. Orientasi pada “bagi-bagi kekuasaan” harus ditinggalkan. Untuk apa struktur
kepemimpinan MPR masih dipertahankan seperti sekarang. Melihat beban kerja MPR dewasa ini, rasanya negara terlalu
mahal untuk membayarnya.
Keempat, pendekatan yang sifatnya “Jakarta Sentris” (Centered Bias) harus dipadukan dengan pendekatan yang
memperhatikan kepentingan lokal serta masyarakat. Demokratisasi meniscayakan hilangnya monopoli penafsiran dan
kekuasaan. Keadilan dan pembagian (sharing) antar komponen bangsa di seluruh Indonesia harus dijadikan paradigma
utama dalam mempertahankan eksistensi nasionalisme ke Indonesiaan yang menghargai ke-Bhinneka-an dan ke-
Tunggal Ika-an. Dengan kata lain, krisis kepercayaan (crisis of trust) antara elit dengan massa, intra pemerintah sendiri,
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara negara dan masyarakat, antara partai politik dengan civil
society, antara pengusaha dengan buruh, serta intra masyarakat itu sendiri, mesti dihilangkan.
Memang tidak keliru bila di dalam menilai politik Indonesia, kita selalu berpegang pada keberadaan dan nasib seorang
presiden beserta jajaran pemerintahannya. Karena latar belakang kita yang sangat state centered dan bureaucratic state,
maka gonjang-ganjing politik senantiasa dimulai dari sana. Betapa besarnya peran negara dalam mengarahkan
perubahan sosial, serta kekayaan yang dimilikinya untuk menjalankan fungsi tersebut, negara, khususnya pemerintah
masih tetap menjadi wilayah yang paling menarik banyak pihak. Perlombaan untuk memperoleh akses ke dalamnya
nampaknya masih tetap berlangsung. Tidak terlalu mengherankan bila sekarang mulai berkembang berbagai manuver
politik dari sementara tokoh “tua” dan “generasi muda” yang mempersoalkan suksesi kepemimpinan pada 2009
mendatang. Ada keengganan untuk berestafet politik, di satu pihak, juga ada kecurigaan pelanggengan kekuasaan di
pihak lain. Padahal masalah negara bangsa sekarang sudah jauh dari itu. Masih dominannya negara, tetap menjadi
kekuatan yang dapat menyihir semua orang yang terobsesi dengan kekuasaan.
Tentu bukannya tanpa alasan bila kita, Bangsa Indonesia, memberi perhatian khusus terhadap seratus tahun hari
kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908-20 Mei 2008. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, peringatan yang menandai
lahirnya gagasan kebangsaan Indonesia, tahun ini dirayakan secara semarak, bukan hanya oleh pemerintah, melainkan
juga elemen masyarakat yang peduli terhadap sejumlah fenomena berikut:
Pertama, perjalanan waktu satu abad, bukanlah sebuah perjalanan yang pendek. Kendati kemerdekaan Indonesia baru
akan menginjak usia 63 tahun, 17 Agustus 2008 mendatang, proses menuju kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidaklah
terjadi secara cepat (overnight) dan tanpa biaya. Setidaknya dua generasi telah mengantarkan mimpi kebangsaan
tersebut menjadi sebuah realita, yakni Generasi Boedi Oetomo 1908, dan Generasi Sumpah Pemuda 1928. Barangkali
sulit untuk mengingkari sebuah kenyataan sejarah bahwa upaya mewujudkan cita-cita merdeka, lepas dari kungkungan
pemerintah kolonial, harus ditebus dengan berbagai macam pengorbanan, mulai dari tenaga, pikiran sampai ke jiwa para
perintisnya. Sementara generasi penerus, para pendiri republik dan pemimpin selanjutnya, dengan caranya sendiri
berjuang mengisi kemerdekaan dan membuktikan kepada negara-negara bekas penjajah, bahwa kita mampu untuk
mendirikan pemerintahan sendiri, sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam konteks inilah relevansi
peringatan seratus tahun Kebangkitan Nasional itu memperoleh argumen historiknya.
Kedua, dalam memasuki satu abad usia Kebangkitan Nasional sekarang, kita seolah berada di persimpangan jalan.
Ternyata, perubahan yang kita alami tidaklah berlangsung secara linier. Alih-alih menjadi sebuah negara-bangsa yang
kian solid, pertambahan usia republik ini belakangan dirasakan telah melahirkan kekhawatiran tersendiri. Hidupnya
kembali gagasan separatis, fenomena kebebasan yang tak terkendali yang mewarnai dinamika politik akhir-akhir ini,
banyak yang menduga sebagai pencerminan dari lunturnya semangat ke-Tunggal-an dan ke-Bhinneka-an, yang justru
menjadi ciri negara bangsa Indonesia. Bila di masa-masa lalu, nasionalisme Indonesia kerap dijadikan etos perjuangan
bangsa dalam menghadapi berbagai masalah baik yang datang dari luar maupun dalam negeri, sekarang seolah
dilupakan. Karena kebebasan berpikir dan pengaruh teknologi informasi yang mampu menembus batas negara, sumber
referensi sejarah kita masa lalu mulai ditinggalkan, dan digantikan oleh globalisme. Sebagai akibatnya, kita kehilangan
lem perekat yang dapat mempersatukan segenap enerji negara-bangsa, tanpa mempedulikan latar belakang sosial dan
berbagai perbedaan yang ada.
Ketiga, di masa pemerintahan Presiden Soeharto, lem perekat tersebut direkayasa dari “atas” dengan menggunakan
sistem komando yang jelas. Demi stabilitas nasional, segala kemajemukan ditolerir sejauh mendukung paradigma
pemerintah tersebut. Sebaliknya, pemerintah senantiasa bertindak tegas dalam menghadapi berbagai tafsir keragaman
yang berasal dari luar pemerintah. Termasuk keberadaan nilai-nilai kearifan lokal pun, dinafikkan demi terselenggaranya
pemerintahan yang efektif dan pembangunan. Sebagai konsekuensinya, kesatuan terlihat lebih menonjol, ketimbang
persatuan. Demi membangun harmoni politik dan kesinambungan pemerintahan, nilai-nilai lokal, searif apa pun,
diperlakukan secara lebih kritis, dan pada gilirannya dimarjinalkan dalam proses bernegara. Padahal, semua mengetahui
bahwa bangsa Indonesia lahir atas dasar kesepakatan berbagai nilai, baik yang bersifat sentripetal (pusat) maupun
sentrifugal (daerah). Dengan demikian, abai terhadap nilai lokal berarti melawan kodrat kita sebagai negara bangsa.
Karena ketiga pemikiran di atas itulah maka dalam memperingati seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional, kita perlu
memikirkan ulang esensi –lebih tepatnya lagi adalah– kontekstualisasi nasionalisme Indonesia di satu pihak, dan nilai-
nilai kearifan lokal di pihak lain. Sebagaimana judul tulisan ini terakan, pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada
relevansi keduanya bagi pencapaian cita-cita kebangsaan Indonesia sebagaimana ditekankan kembali oleh Presiden
SBY dalam Pidato Harkitnas-nya 20 Mei yang lalu, yakni Kemandirian bangsa, Peningkatan Daya saing, dan Membangun
Peradaban.
Kita semua berharap agar ketiga tujuan tersebut tidak berhenti pada mimpi, melainkan menjadi kenyataan. Kita berharap
juga agar peringatan ini bukan sekedar ritual yang menghabiskan enerji dan dana yang tidak sedikit, melainkan menjadi
sumber inspirasi seluruh bangsa, terutama para pemimpin, baik di pusat maupun daerah, untuk lebih mengutamakan
kepentingan negara-bangsa ketimbang kepentingan sendiri.
Kontekstualisasi Nasionalisme
Pada era perang kemerdekaan dan masa-masa awal republik ini lahir, wawasan kebangsaan (nationness) dan ke-
Indonesia-an diwujudkan oleh para pendiri republik dalam bentuk perang melawan penjajah (asing). Apakah Belanda,
Inggris atau pun Jepang, akan dianggap sebagai musuh bersama bila ketiga negara kolonial itu berusaha kembali
menguasai tanah air Indonesia. Hanya dengan modal wawasan kebangsaan itulah Indonesia bisa dipersatukan. Dengan
itu pula Indonesia lahir menjadi sebuah Negara Baru (New Emerging Forces-Nefos) yang ingin dihargai sederajat dengan
Negara-Negara Lama (Old Emerging Forces-Oldefos) yang sebelumnya menguasai seluruh jagat ini. Sampai dengan
berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno, relevansi pengaktualan wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an masih
sering dimunculkan dalam semangat “nation and character building”, yang anti asing terutama negara bekas penjajah
dengan segala macam antek-anteknya. Ungkapan Presiden Soekarno yang sangat terkenal “go to hell with your aid”
menjadi bukti abadi dari betapa jelasnya pilihan politik luar negeri Indonesia saat itu. Bantuan dari negara mana pun
ditolaknya bila harus ditukar dengan pendiktean mereka terhadap Indonesia.
Ketika Orde Baru lahir, kita mulai melakukan pilihan-pilihan rasional (rational choices) dan menyeleksi terhadap apa yang
disebut dengan asing. Sejauh memberi manfaat kepada pembangunan, kehadiran mereka kita terima. Dibukanya UU No
1/1967 mengenai Penanaman Modal Asing, merupakan salah satu wujud dari proses seleksi di atas. Bagi seorang
pengamat Indonesia dari Australia, Jamie Mackie, pilihan sikap politik luar negeri semacam itu dianggapnya sebagai awal
dari pragmatism kita. Menurut dia, demi mengamankan program pembangunan, pemerintahan Presiden Soeharto tidak
lagi berpegang pada idealisme lama. Sejauh memberi kontribusi terhadap proses penanaman modal, dan kehadiran
unsur asing di sini dianggap sebagai sesuatu yang positif, serta tak akan mengganggu ke-Indonesia-an kita. Karena
begitu besarnya pengaruh asing dalam era Orde Baru, Soedjatmoko kemudian memberi alasan pembenar dengan
mengatakan perlunya nasionalisme pembangunan. Dengan kata lain, ukuran dari “nation and character building pada era
Orde Baru adalah “pembangunan”. Sebuah proses perubahan berencana (planned changes) dan direncanakan oleh
pemerintahan yang teknokratik.
Kini, ketika konsep pembangunan mulai mengalami banyak distorsi dalam praktiknya, dan Perang Dingin tidak lagi
mewarnai politik internasional, bagaimana kita hendak mengaktualkan wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an di
atas. Masalahnya, banyak di antara kita yang sering terkaget-kaget dengan perkembangan mutakhir yang nampaknya lebih
memperkuat globalisme ketimbang nasionalisme. Sampai-sampai ada tulisan Jakob Soemardjo -seorang sastrawan
senior- yang merasa khawatir, jangan-jangan Sumpah Pemuda kita sekarang adalah “Dunia tanah airku, kemanusiaan
adalah kebangsaanku, dan Bahasa Inggris atau Amerika adalah bahasaku”.3
Sumpah Pemuda adalah satu hal, namun hal lain yang tak kalah pentingnya adalah substansi dan hakikatnya.
Kekhawatiran akan semakin lunturnya kecintaan terhadap kebangsaan dan ke-Indonesia-an di kalangan masyarakat kita
sekarang, bisa jadi merupakan peringatan awal dari kecenderungan yang menafikan perjuangan para pendahulu dalam
menyusun sebuah republik yang diberi nama Indonesia. Apalagi bila ukuran ini dipadankan dengan bagaimana sebagian
dari kita sekarang memahami budaya sendiri dibandingkan dengan mencangkok gaya hidup kosmopolitan, maka akan
semakin pesimis pula di dalam memandang kualitas wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an sekarang. Apalagi
dengan makin gencarnya penguasaan asing atas aset-aset ekonomi kita, sangat beralasan bila kemudian muncul
kepedulian untuk mengaktualkan persoalan ini. Barangkali, ke sanalah perhatian kita diarahkan, dan tulisan ini ingin
melihatnya dari perspektif politik.
Kekuatan Pendorong
Kebangsaan (nationality atau nationness)4 dan Ke-Indonesia-an, belakangan menjadi dua buah konsep yang semakin
menarik untuk dibahas secara lebih mendalam. Bahkan lebih dari itu, karena tak terpisahkannya makna keduanya dalam
sejarah perkembangan republik ini, maka karena dua alasan –setidaknya dari sisi politik– konsep kebangsaan dan ke-
Indonesia-an akan tetap relevan dan perlu terus disegarkan.
Pertama, dari perspektif teoritik, memang ada keperluan yang sifatnya terus-menerus untuk memperkaya wacana politik
(political discourse) kebangsaan ini. Apakah masih punya dasar-dasar empirik bagi para teoritisi untuk menggunakan
kesamaan nasib, kesamaan budaya, kesamaan musuh dan kesamaan visi sebagai semen perekat kebangsaan
kontemporer? Sebagaimana pengertian nasionalisme pernah diajarkan Ernest Renan di masa lalu, tanpa kesemuanya
itu, mustahil lahir sebuah gerakan kebangsaan yang kemudian mampu mengusir penjajah dan melahirkan sebuah
negara baru yang bebas dari penjajahan.
Dengan kata lain, nasionalisme harus ditafsirkan sebagai sebuah kekuatan inklusif dan membebaskan. Dengannya,
menurut Anthony Smith, segala bentuk-bentuk lokalitas wilayah, dialek, adat istiadat dan klan terpinggirkan. Atas nama
nasionalisme, terbentuklah sebuah negara bangsa yang besar, yang mampu memusatkan pasar, sistem administrasi,
perpajakan, dan pendidikan. Semangatnya adalah kerakyatan dan demokratik. Melalui nasionalismelah segala bentuk
sistem nilai yang feodalistik dan kekuatan penjajah yang opresif dijungkirkan. Nasionalisme, pada gilirannya akan
menjadi modal bagi lahirnya kedaulatan rakyat serta penentuan nasib mereka secara independen. Oleh karenanya
nasionalisme di abad ke-19 dan 20-an dimanifestasikan dalam gerakan elit pribumi melawan penguasa kolonial serta
berbagai sistem administrasi yang mendukungnya. Dalam konteks inilah relevansi peringatan dini sementara pihak
terhadap gejala kontemporer yang dianggapnya membahayakan persatuan dan kesatuan. Karena makin berkembangnya
kecenderungan “Sumpah Pemuda“ baru di atas, kita perlu menyegarkannya kembali. Apalagi bila hampir seluruh elemen
kehidupan kita telah digantikan oleh asing, maka tidak berlebihan pula jika ada yang mempertanyakan sejauh mana
wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an masih kita miliki?
Dari perspektif teoritik, sebenarnya ada penjelasan lain yang lebih menarik ketimbang perspektif “nasionalisme resmi”
(official nationalism) di atas. Sebagaimana secara panjang lebar dan menarik diuraikan oleh Anthony D. Smith dalam
bukunya Nationalism and Modernism (Routledge, New York, 1998) , bahwa teori nasionalisme mengalami perkembangan
dari masa ke masa dan tergantung pendekatan apa yang digunakan. Pandangan yang mengatakan bahwa bangsa
adalah sebuah entitas yang konkrit, yang didasarkan pada latar sejarah dan kehidupan sosial, masyarakatnya homogen
dan bersatu, serta mencerminkan aktor sosial dan politik utama dalam dunia modern, dalam tiga puluh tahun terakhir ini,
nampaknya tidak lagi dapat dipertahankan. Apalagi setelah Perang Dingin berakhir, basis empiriknya semakin hilang.
Negara Uni Soviet, Yugoslavia telah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil yang masing-masing memiliki
kedaulatan. Banyak negara baru lahir didasarkan pada pertimbangan etnisitas (ethno-nationalism) atau agama (religio-
nationalism).
Sejak memasuki dasawarsa 1970-an, pikiran-pikiran optimistik dan realis tentang bangsa dan kebangsaan mulai
mencair. Meskipun muncul perbedaan di kalangan para teoritisi, yang pasti mereka mengakui adanya kekuatan psikologis
dan kenyataan sosiologis tentang bangsa dan negara bangsa. Oleh karenanya, diperlukan sebuah upaya baru untuk
membangun bangsa melalui cara-cara dalam berkomunikasi, urbanisasi, pendidikan massal, dan partisipasi politik.
Yang diperlukan kemudian adalah sebuah proses pelembagaan (institutionalization). Yang mesti dikembangkan adalah
bagaimana agar proses pembangunan nasional dapat melahirkan keseimbangan, pemerataan, dan pertumbuhan
ekonomi, memberi keleluasaan terhadap partisipasi masyarakat, bukan monopoli oleh kekuatan tertentu, mendukung
proses komunikasi dan membuka ruang publik, mendorong munculnya pemerintah yang terorganisasi dengan baik dan
sangat responsif, serta mempercepat lahirnya elit yang matang dan fleksibel dalam berpolitik.
Pikiran baru mengenai nasionalisme di atas mengindikasikan bahwa monopoli interpretasi dan sentralisasi pengertian
tentang nasionalisme harus digantikan oleh demokratisasi pemahaman secara lebih substansial. Karena nasionalisme
adalah “komunitas politik yang dibayangkan” (imagined political communities), maka perlu ada sharing of ideas dan
bahkan socio-political sharing antar berbagai masyarakat pendukungnya (fellow-members). Tanpa itu semua, jangan
heran bila eksistensi nasionalisme akan terganggu, dan pada gilirannya “temuan” (invent) itu akan hilang. Apalagi untuk
negara bangsa sebesar dan sekompleks Indonesia sekarang, “justice sharing” (pembagian yang berkeadilan) antara
berbagai elemen bangsa dan daerah menjadi sebuah keharusan. Karena kemajemukan (bhinneka) menjadi dasar dari
kesatuan (Ika), menjadi mutlak sifatnya bagi siapa pun untuk memberi perhatian kepada keadilan –baik dalam bentuk
maupun substansinya– antar golongan, antar agama, antar suku, antar wilayah, antar gender, dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, nasionalisme Indonesia hanya dapat dikontekstualkan apabila kita semua memperhatikan peran
berbagai nilai-nilai lokal di dalamnya. Dengan mempercayai (trust) peran nilai-nilai lokal tersebut, berarti kita telah
menemukan kembali “modal sosial” (social capital) – yang menjadikan negara bangsa ini lahir dan terus bertahan
sampai sekarang.5
Dengan merujuk pada berbagai perkembangan empirik mengenai tumbuhnya negara-negara baru dalam beberapa
dekade terakhir ini, munculah keperluan teoritik untuk dapat mengakui adanya perspektif atau paradigm non-mainstream
tentang asal-muasal, hakikat dan kecenderungan nationalism yang selama ini dianut. Dengan kata lain, di samping
mendiskusikan sejauh mana paradigma Modernisme Klasik tentang nasionalisme masih memiliki dasar-dasar untuk
diikuti, juga perlu memperhitungkan nasionalisme dalam perspektif yang lain. Sebab, dalam kenyataannya, ada tiga
persoalan mendasar yang mendominasi teori bangsa dan kebangsaan ini.
Pertama, etik dan filosofis. Teori inilah yang menekankan arti penting bangsa dalam masalah kemanusiaan. Apakah
bangsa sebagai tujuan atau harus ditafsirkan bersama nilai-nilai yang lain. Atau haruskah bangsa dan identitas bangsa
sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau nilai yang lain.
Kedua, antropologis dan politis. Teori ini mempersoalkan batasan pengertian tentang bangsa. Bagaimana bangsa
hendak didefinisikan, apa hubungannya dengan individu dan masyarakat.
Ketiga, historikal dan sosiologis. Pendekatan ini menekankan pentingnya posisi bangsa dalam sejarah kemanusiaan.
Ikatan sejarah dan budaya menjadi semen perekat utama bangsa.
Paradigma yang meniscayakan pentingnya “nation building” ini, tentu saja tidak keliru dari perspektif teoritik dan apalagi
praksis-pragmatik. Namun tidak boleh juga dianggap sebagai memiliki kebenaran mutlak. Sebagaimana tradisi yang
berlaku dalam masyarakat akademik, apa yang disebut contending theory atau teori tandingan, mesti dianggap sebagai
sebuah keniscayaan. Dalam konteks bangsa dan wawasan kebangsaan inilah, kita dihadapkan pada dua paradigma
utama yang masing-masing memiliki landasan empirik yang cukup kuat. Pertama, paradigm Perennialism (nation
building) yang lebih menekankan pada komunitas budaya, immemorial, berakar, organik, kualitas, kerakyatan dan turun
temurun (ancestrally-based). Kedua, teori Modernism. Perspektif ini lebih menekankan pada komunitas politik, modern,
diciptakan, mekanistik, terbagi, sumber daya, konstruksi elit dan basisnya komunikasi.
Kedua, secara empirik, Indonesia kontemporer adalah Indonesia yang tidak mungkin lagi dapat membebaskan dirinya
dari pengaruh globalisme. Suka atau tidak, karena begitu pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,
tidak ada bagian dari wilayah Republik Indonesia yang tidak tersentuh olehnya. Sejak diperkenalkannya jaringan sistem
komunikasi satelit domestik (SKSD) pada akhir dasawarsa 1970-an, hubungan antar wilayah lewat jaringan tersebut kian
dipermudah. Memasuki dasawarsa 1990-an dan sesudahnya, tingkat kemudahan berkomunikasi semakin dirasakan
secara signifikan. Bukan hanya antar kota besar, melainkan juga sampai ke pelosok-pelosok wilayah terpencil di seluruh
Indonesia, telah dihubungkan oleh berbagai penyedia jaringan telepon. Dari waktu ke waktu, kecepatan dan kualitas
berkomunikasi semakin ditingkatkan. Operator telepon nirkabel, sudah bukan lagi menjadi mimpi masyarakat di
pedesaan. Bila sampai dengan 1980-an, untuk mendapatkan sambungan telepon dengan kualitas yang baik saja masih
sulit, sekarang, asal ada uang, siapa pun dapat mengakses dan menggunakan telepon seluler dan internet secara bebas.
Pada tingkat yang tidak jauh berbeda, kebebasan pun dirasakan oleh siapa pun yang ingin menonton siaran televisi.
Sampai dengan 1980-an, dominasi televisi milik pemerintah (TVRI) masih sangat jelas. Mulai dari pemilikan stasiun
televisi, maupun pengembangan programnya, sangat dimonopoli oleh pemerintah. Kendati saat itu sudah mulai dibuka
kesempatan bagi pihak swasta untuk mengembangkan stasiun televisi, mereka tidak memiliki kebebasan untuk
membuat berita. Masyarakat penonton TVRI sangat hafal dengan dua program berita di malam hari, yang pertama adalah
“Berita Pembangunan” yang disiarkan pada pukul 19.00 wib, dan kedua “Dunia dalam Berita”, muncul dua jam kemudian.
Belakangan, dengan semakin membaiknya jaringan komunikasi dan bergulirnya reformasi politik, masyarakat memiliki
banyak pilihan untuk menonton televisi. Bagi yang memiliki kemampuan untuk mengakses televisi berlangganan (paid tv),
bisa jadi akan lebih banyak menonton siaran internasional ketimbang nasional. Bahkan bila diperhatikan lebih mendalam
lagi, kendati disiarkan oleh televisi nasional, materi acaranya tidak lagi terpaku pada ke-Indonesia-an, melainkan sudah
menjangkau seluruh dunia. Pertimbangannya bukan lagi pendidikan kebangsaan, melainkan seberapa jauh materi
tersebut memiliki nilai jual.
Dalam bidang ekonomi, Indonesia telah menjadi bagian dari pasar global. Bersamaan dengan tingkat kemajuan di dunia
komunikasi tersebut di atas, pasar pun tidak lagi mengenal batas-batas ideologis dan wilayah secara jelas. Apalagi
setelah Perang Dingin berakhir, dan Kubu Komunis tidak lagi menjadi penghambat Kubu Kapitalis, maka bahasa dan
logika pasarlah yang menentukan peradaban dunia sekarang. Ditambah dengan makin mudahnya sarana transportasi,
maka jarak bukan lagi faktor krusial sekarang. Konsep “pembeli adalah raja”, dewasa ini telah digantikan oleh “penjaja
adalah raja”. Kedaulatan konsumen yang merupakan salah satu norma yang diyakini para ekonom murni di masa lalu,
sekarang tidak terlalu mudah untuk dikenali. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, penjaja mampu menentukan
selera konsumen. Bahkan lebih dari itu, negara pun kian berkurang perannya dibandingkan para aktor ekonomi pasar
sekarang. Karena diberlakukannya berbagai ketentuan rezim internasional dan rezim pasar bebas, maka intervensi politik
dalam mekanisme pasar sungguh-sungguh dijauhi. Lebih tragis lagi adalah bahwa pasar, dengan segala macam
keunggulannya, dan sistem kapitalistik dengan berbagai kelebihannya, belakangan telah menjadi penentu utama politik
internasional. Karena tiadanya pelaku pasar lain yang kuat, ekonomi pasar telah benar-benar menguasai jagad raya
sekarang. Negara dan aturan yang sebelumnya sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, sekarang
digantikan oleh berbagai idiom yang merepresentasikan pasar. Sumber nilai masyarakat sebagian besar juga berasal
dari sana. Uang dan kepuasan menjadi nyawa baru kehidupan abad ini. Berbagai norma dan ideologi lain yang kurang
konkrit, menjadi norma yang makin obsolete, dan kemudian ditinggalkan penganutnya. Termasuk konsep nation and
nationality, atau nationness, menghadapi tantangan yang tidak kecil.
Karena pemikiran dan praksis seperti dikemukakan di atas, maka sungguh layak bila kita kemudian mempersoalkan
tema seminar sebagaimana dijadikan judul tulisan ini. Betapa tidak, bila di masa lalu, pemerintah masih sangat
berperanan dalam proses pembentukan negara ini, sekarang, pemerintah dihadapkan pada berbagai kesulitan. Pertama,
sumber daya politik dan ekonomi pemerintah sendiri makin lama makin berkurang. Pemerintah kian menghadapi
kesulitan untuk memobilisasi dukungan masyarakat karena terjadinya ketimpangan antara kemampuan dengan tuntutan
publik. Sesuai dengan ideologi ekonomi kita, pemerintah mestinya mampu menjadi sebuah lembaga yang mengatur
kesejahteraan sosial. Namun dalam kenyataannya, terutama sejak krisis moneter pertengahan 1990-an sampai
sekarang, pemerintah semakin tidak berdaya menghadapi tuntutan pembangunan. Bila di masa lalu pemerintah banyak
mensubsidi masyarakat, sekarang sebaliknya, masyarakatlah yang harus melakukannya.
Kedua, lemahnya sumber daya pemerintah untuk merespon harapan masyarakat dipersulit oleh makin kompleksnya
tantangan yang dihadapi pemerintah sekarang. Proses demokratisasi yang memakan waktu dan mahal, telah menuntut
pemerintah untuk lebih memperhatikan proses politik ini ketimbang proses-proses non-politik. Mulai dari pengembangan
peran serta masyarakat, pelembagaan organisasi, pemilihan umum sampai dengan proses lobby-lobby politik, semuanya
memerlukan anggaran yang tidak kecil. Tragisnya lagi, korupsi pun bukannya semakin berkurang dengan adanya
pengawasan independen, justru sebaliknya. Sampai tulisan ini dibuat, posisi Indonesia dalam bidang yang satu ini,
masih tetap menduduki kelompok lima besar dunia. Ditambah lagi dengan tragedi bencana alam yang datang silih
berganti, semuanya memerlukan dana publik yang juga tidak sedikit. Sebagai akibatnya, harapan masyarakat luas untuk
mendapat santunan pemerintah kian sulit direalisasi. Pada gilirannya, para elit politik menikmati hasil reformasi,
sementara masyarakat luas kian jauh dari pelayanan. Tidak terlalu mengherankan bila kemudian kepercayaan
masyarakat baik terhadap hukum dan lembaga negara semakin menyusut.
Ketiga, globalisasi ekonomi telah berdampak luas terhadap perubahan ekonomi di dalam negeri. Meski pun pemerintah
tetap berusaha untuk menjalankan perannya, pengaruhnya kian terpinggirkan oleh keniscayaan nilai yang dibawa
bersamaan dengan masuknya pasar bebas dalam kehidupan masyarakat kita. Bila di masa lalu, negara masih memiliki
monopoli dan pengaruh yang kuat dalam menentukan perubahan masyarakat, sekarang tidak lagi.
Orientasi pada pasar, telah melahirkan persaingan secara bebas, yang akhirnya si besar makan si kecil, privatisasi
Badan Usaha Milik Negara telah menghilangkan otoritas pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan warganya.
Karena reformasi pula maka tatanan hukum yang dianggap sudah mapan selama ini, menjadi goyah. Munculnya
interpretasi hukum secara kontekstual, telah menjungkir-balikkan norma lama yang dianggap tidak lagi menzaman.
Karena ketentuan perundangan yang baru belum ada, sementara aturan yang lama ditolak, kepastian hukum menjadi
sebuah komoditas yang amat langka. Akibatnya, interpretasi sepihak telah menjadi sebuah instrumen perubahan. Pada
gilirannya, kebimbangan terlihat jauh lebih menonjol ketimbang kepastian hukum.
Konsekuensi Empirik
Di dalam negeri, kita bisa saja terus mengidealisasikan ke-Indonesia-an. Jati diri bangsa, atau “manusia Indonesia
seutuhnya” barangkali masih relevan untuk dipertahankan sebagai semangat bernegara. Pancasila juga mesti
dipertahankan sebagai sebuah ideologi yang mendasari persatuan antar berbagai perbedaan yang ada di Indonesia.
Namun, ada dua hal yang mesti direnungkan oleh kita semua di dalam mengidealisasikan ke-Indonesia-an di atas.
Pertama, berkat perkembangan pendidikan, semakin banyak anggota masyarakat Indonesia yang mengalami
peningkatan harapan dan sikap kritis. Di jaman penjajahan dulu saja, Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan
“Politik Etika” yang dimaksudkan untuk “membalas budi” kepada rakyat di tanah jajahan yang selama sekian waktu
dieksploitasi. Pendekatan semacam ini pula yang mestinya direalisasikan oleh Pemerintah untuk mencegah adanya
kemarahan publik. Pemerintah mestinya segera mewujudkan gagasan pemerataan ekonomi dan stabilitas politik dalam
arti yang sesungguhnya –termasuk penghargaan terhadap kearifan local (local wisdom) di dalamnya– bukan retorika
semata. Sayang sekali, sampai dengan pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun yang kelima (1989-1994), kenyataan di
dalam negeri semakin sulit digunakan untuk mendukung kepemimpinan Presiden Soeharto. Perekonomian kian terpuruk,
penegakan hukum semakin lemah, hutang luar negeri bertambah besar, daya saing Indonesia berkurang di pasar global,
stabilitas politik sangat semu, hanya di permukaan saja.
Kedua, dalam rangka menjaga identitas ke- Indonesia-an tersebut kita pun tidak mungkin mengabaikan adanya
perkembangan lingkungan yang secara sistemik dan strategik mempengaruhi tujuan bersama kita (common destiny).
Kemerdekaan Indonesia pun lahir karena adanya perkembangan nasionalisme di luar kita. Jadi sama halnya dengan
pengalaman para bapak bangsa (founding fathers) Indonesia ketika membayangkan pentingnya nasionalisme dan
kemerdekaan negara-bangsa di masa lalu, kita pun harus selalu sadar terhadap berbagai pengaruh yang ada di sekitar
Indonesia. Bahkan bila diamati lebih obyektif lagi, pengaruh luar tersebut telah menimbulkan dampak yang lebih kompleks
dibandingkan nasionalisme di masa lalu. Bila nasionalisme di masa lalu telah memperkuat persatuan kita di dalam
menghadapi musuh bersama, kekuatan eksternal sekarang justru memperlemah persatuan nasional. Berkat revolusi
teknologi, terutama di bidang informasi dan komunikasi, batas-batas negara menjadi tidak relevan lagi. Netralitas
teknologi telah merambah berbagai kultur masyarakat di seluruh belahan dunia ini. Kecenderungan pasar bebas, telah
mewarnai hubungan internasional mutakhir. Demokrasi liberal, menjadi sebuah wacana yang kian luas dijajakan. Hak
Azasi Manusia (HAM) dan persoalan Lingkungan Hidup telah muncul sebagai “ideologi baru” yang merekatkan hubungan
antara “Timur” dan “Barat”. Sayang sekali bahwa keseluruhan persoalan di atas –kelak akan dibahas lebih detail lagi–
kurang ditanggapi secara empirik (nyata) oleh negara di masa lalu.
Memang, Presiden Soeharto di masa lalu sering mengingatkan “suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, globalisasi
akan datang dan mempengaruhi perkembangan negara dan bangsa kita”. Oleh karena itu, pada masa itu, negara
memperkenalkan “Kebangkitan Nasional Kedua” yang diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan mutakhir, di
samping melestarikan negara bangsa Indonesia, di satu pihak, di pihak lain, adalah mengakomodasi pengaruh global
yang maha dahsyat tersebut. Bila para pendiri republik di masa lalu mengikrarkan “Kebangkitan Nasional Pertama”
sebagai dasar bagi lahirnya kemerdekaan Indonesia, maka kita sekarang perlu mensosialisasikan “Kebangkitan
Nasional Kedua” yang tujuannya adalah “menempatkan bangsa dan negara Indonesia yang merdeka sejajar dengan
bangsa-bangsa dalam hal kemakmuran, kemajuan, kesejahteraan dan karena itu pula dalam usaha mencerdaskan
bangsa, sehingga dapat menguasai iptek, dapat memproduksi barang dan jasa yang kompetitif”.6
Akan tetapi, apa yang disebut sebagai Kebangkitan Nasional Kedua itu ternyata tidak lebih dari sekedar pidato, yang
kurang didukung oleh usaha-usaha nyata. Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan kita bersama, jatuhnya kekuasaan
Presiden Soeharto disebabkan oleh kian lemahnya sumber legitimasi Pemerintah Orde Baru. Dalam lima Pelita
sebelumnya, pemerintah masih kuat bertahan karena pemerintah dapat menunjukkan adanya proses pembangunan di
seluruh penjuru tanah air. Walau pun politik sentralisme dan Jakarta masih tetap menjadi pusat dari segala-galanya,
sebagian besar opini publik masih mendukung kepemimpinan Presiden Soeharto. Namun, ketika peran pemerintah
dalam pembangunan kian berkurang, dan pihak swasta yang ada mulai menyalahgunakan kepercayaan pemerintah yang
dibuktikan oleh semakin besarnya hutang mereka serta hutang swasta yang dinegarakan, fundamental ekonomi
Indonesia semakin rapuh, mulai muncul tuntutan terhadap perlunya perubahan struktur di republik ini. Ekspor Indonesia
terus merosot, sebaliknya impornya meningkat. Nilai tukar mata uang Rupiah melemah dibandingkan mata uang asing.
Perusahaan nasional semakin mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan pasar global. Pengangguran marak
di mana-mana, dan hubungan antar daerah menjadi kian timpang. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
penegakan hukum tidak berjalan sesuai dengan harapan publik. Kesmua persoalan tersebut telah memperkuat basis
bagi perubahan secara mendasar di dalam penyelenggaraan negara di tanah air. Dan, 21 Mei 1998 menjadi klimaks dari
kegagalan Presiden Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya.
Lemahnya basis dukungan politik rakyat terhadap Pemerintah Soeharto semakin diperberat oleh adanya dampak
globalisasi yang yang dibawa serta oleh adanya kemajuan teknologi informasi dan sistem pasar dunia yang pada
hakikatnya tidak sesuai dengan kenyataan di Indonesia. Sebagai akibatnya, yang terjadi kemudian adalah sebuah proses
“penjajahan” budaya global terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam bidang teknologi informasi, kita semua sepakat bahwa teknologi komputer sekarang telah dijadikan pengganti
mesin tik dan alat tulis apa pun yang selama ini digunakan. Dari waktu ke waktu, teknologinya berganti begitu cepat, dan
kita pun tak luput harus mengikutinya. Karena informasi telah menjadi kebutuhan hidup, maka revolusi di bidang ini mesti
kita ikuti. Pengembangan lebih lanjut darinya adalah kemungkinan bagi pengguna komputer untuk menjadikannya
sebagai alat komunikasi dan penyalur informasi pribadi ke segala penjuru dunia, tanpa mempersoalkan latar belakang
budaya, agam, ras, gender, tingkat ekonomi, dan ideologi. Melalui teknologi informasi yang tersedia sekarang kita dapat
“ngrumpi” secara bebas dan kapan saja. Bila di masa pra-komputer, “ngrumpi” dipandang sebagai salah satu ciri
masyarakat desa, sekarang tidak lagi. Justru sebaliknya orang-orang kota yang terdidik pun telah melakukannya. Oleh
karena itu, tidak terlalu mengherankan bila Marshall McLuhan, mengatakan gejala semacam ini pada akhirnya akan
melahirkan sebuah “desa dunia” (global village). Hubungan internasional, bukan lagi milik pemerintah, terutama
Departemen Luar Negeri, tapi sudah menjadi kebutuhan pribadi. Pelakunya pun sangat beragam, mulai dari kepala
negara sampai rakyat jelata sekali pun. Subyek yang dibicarakannya juga tidak mesti yang berkaitan dengan tugas-tugas
negara dan pemerintahan, melainkan kebutuhan semua orang, mulai dari pikiran yang mendukung negara sampai ke
revolusi dan terorisme.
Globalisasi ekonomi merupakan elemen lain dari kecenderungan internasional sekarang. Sebelum Perang Dingin antara
Blok AS dan US berakhir sekitar akhir 1980-an, ada dua model sistem ekonomi yang dapat dijadikan negara baru,
termasuk Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan ekonomi nasionalnya, yakni sistem ekonomi liberal atau pasar
bebas yang merupakan ciri dari perekonomian negara-negara industri maju Barat, dan sistem ekonomi yang sentralistik
atau sosialis, yang biasanya dianut oleh negara-negara Blok Komunis. Namun, sejak memasuki 1990-an, sebagai
kelanjutan dari runtuhnya tembok komunisme, masyarakat dunia berpaling ke Blok Barat, dan menganggap sistem
ekonomi pasarlah yang mampu menciptakan kesejahteraan bangsa. Melalui bantuan luar negeri dan iklan produk
kapitalisme, negara-negara industri Barat, telah mampu mempengaruhi pasar dunia. Berbagai bentuk kerjasama dan
perdagangan internasional serta regional didirikan. Semuanya telah dijadikan instrumen yang sangat efektif di dalam
menjajakan sistem ekonomi alternatif tersebut. Sebagai akibatnya, sebagian besar negara dan masyarakat internasional,
termasuk Indonesia, sekarang berpaling kepada sistem ekonomi dunia yang baru ini.
Sementara dalam bidang sosial budaya, globalisasi telah mampu menciptakan penyeragaman gaya hidup. Pragmatisme
dan konsumerisme merupakan dampak yang paling kasat mata dari perkembangan budaya masyarakat dunia. Sebagai
akibat dari kemajuan di bidang teknologi informasi, khususnya periklanan, kecenderungan untuk memproduksi sekarang
kalah cepat dibandingkan untuk mengkonsumsi. Peran dari perusahaan multinasional yang mampu dengan cepat dan
massal menawarkan produknya, telah menggusur kesadaran kolektif akan perlunya nasionalisme ekonomi atau bahkan
jati diri bangsa. Demi mengikuti perkembangan gaya hidup global, kerja keras dan kesederhanaan diabaikan. Khawatir
dituduh tidak “trendy” dan bukan menjadi warga internasional, semangat untuk mencipta di sebagian besar negara dunia
sekarang, dianggap bukan lagi persoalan yang sangat penting.
Dari segi politik, globalisasi dibuktikan lewat penyeragaman sistem penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demokrasi
liberal sebagai standarnya, negara-negara industri maju berusaha untuk mendikte negara mana pun yang berharap dapat
memperoleh hikmah dari segala macam kemajuan di atas. Dewasa ini, tidak satu negara bebas di dunia ini yang tidak
berkenalan dengan demokrasi dan pasar bebas. Bank Dunia, Internasional Monetary Fund, World Trade Organization,
Organisasi Kerjasama Ekonomi Regional, dan bahkan PBB, telah berfungsi sangat efektif di dalam mensosialisasikan
gagasan-gagasan kebebasan di seluruh dunia. Meskipun bentuk negara merdeka masih dihargai, namun dari segi
politik, kedaulatannya sudah kian rentan. Konsep pertahan wilayah atau pun negara sekarang menjadi semakin relatif
sifatnya. Keichi Ohmae menafsirkan kecenderungan global seperti ini sebagai “dunia tanpa batas” (borderless world).
Sedangkan Immanuel Walerstein menyebutnya sebagai “sistem dunia” (world system) yang tandai oleh adanya “global
shopping centre”.
Opsi Kebijakan
Menghadapi perkembangan politik nasional dan politik global di atas serta pengaruhnya terhadap pengembangan
wawasan kebangsaan dan ke-Indonesia-an kontemporer, apa yang mesti kita lakukan? Sembilan tahun sudah era
reformasi kita gulirkan. Empat Presiden telah memimpin Indonesia di era reformasi. Semuanya dihadapkan pada
lingkungan dan sistem nilai yang jauh berbeda dengan dua presiden Indonesia terdahulu, Soekarno dan Soeharto. Sejak
awal sangat disadari bahwa krisis yang melanda negeri ini adalah sejumlah faktor multidimensi sebagaimana disebutkan
terdahulu. Artinya, ada keharusan bagi siapa pun yang menjadi nahkoda di Republik Indonesia selanjutnya, untuk secara
sistemik dan bertahap mampu membawa negara ini sesuai dengan cita-cita reformasi, di satu pihak, dan
mengakomodasi kemajuan dunia di pihak lain. Sehingga, pada gilirannya, negara kita akan menjadi sebuah negara besar
yang patut disejajarkan dengan negara-negara lain di seluruh dunia, terhormat, modern, dan sejahtera.
Di dalam negeri, perbedaan yang ada hendaknya dapat lebih diarahkan untuk membangun kebersamaan di antara
seluruh komponen bangsa, baik di pusat maupun daerah dan antar daerah, serta antar golongan. Jangan seperti
sekarang, yang menonjol adalah pertikaian, bukan rekonsiliasi. Berkah reformasi, sentralisme politik digantikan oleh
desentralisme. Kekuatan politik dewasa ini tidak lagi dimonopoli oleh negara, melainkan sudah menyebar ke masyarakat,
baik di partai politik, organisasi massa, maupun pers dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hubungan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, tidak lagi bersifat “top-down”, melainkan “bottom-up”. Akan tetapi,
fragmentasi pusat kekuasaan di atas, telah menyuburkan konflik dan perseteruan yang tidak kunjung henti, bukan justru
membangun kemajemukan dalam arti yang positif. Rebutan kekuasaan dan suasana saling mencurigai serta
ketidakpercayaan (distrust), telah menjadi warna dominan dari penyelenggaraan negara sekarang. Eksekutif dan Legislatif
bukannya saling bekerjasama membuat kebijakan public dan saling bermitra dalam mengarahkan perubahan. Justru
sebaliknya, saling menuduh. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, antara lain, merupakan salah satu bagian dari
Eksekutif yang merasa gusar dengan gejala percaloan dalam lembaga legislatif kita. Bahkan ada juga sesama
penyelenggara negara yang seolah tidak ada koordinasi sama sekali. Persaingan dan perebutan wewenang sampai
sekarang belum selesai antara Pihak Departemen Kehutanan dengan Polri dalam menentukan nasib kayu sitaan di
Provinsi Riau. Komisi Yudisial, yang semula digagas untuk menjadi sebuah kekuatan Civil Society dalam mengurangi
praktek mafia peradilan, telah tercoreng oleh anggotanya sendiri yang ternyata mempraktekkan hal yang harus diperangi
itu. Akhirnya, penyelenggaraan pemerintahan tidak fokus pada apa yang sebelumnya dijanjikan Presiden SBY dan Wakil
Presiden JK dalam kampanyenya. Yang terjadi kemudian lebih mengarah pada bagaimana caranya mempertahankan
kekuasaan, bukan menjalankannya sesuai dengan mandat yang diberikan. Reformasi birokrasi pun jalan di tempat,
karena ketiadaan visi yang sama dalam melaksanakannya. Cita-cita menjadikan Indonesia sebagai Negara Hukum
(Recht Staat) masih jauh tertinggal ketimbang apa yang secara kasat mata terjadi, yakni Negara Kekuasaan (Macht Staat).
Kesemua kecenderungan dan fenomena mutakhir di atas, tentu akan merugikan teraktualisasikannya wawasan
kebangsaan dan ke-Indonesia-an sebagaimana seharusnya menjadi modal politik dan moral sebuah negara bangsa.
Sebab, sebagai sebuah masyarakat politik (political community), Indonesia –kapanpun– membutuhkan adanya kesamaan
persepsi dan cita-cita antara elit dengan massanya, antara pemerintah dengan kekuatan non-pemerintah, antara
pemerintah pusat dan daerah, serta antara berbagai elemen negara bangsa yang lain. Tidak boleh ada yang menjadi
korban darinya. Ketika rakyat masih terbatas pengetahuan dan kesempatannya, mungkin pilihan untuk mencari sistem
nilai ataupun contoh perilaku (role model) yang lain masih terbatas. Mereka bisa saja menjadi kekuatan mayoritas diam
(silent majority), yang seolah-olah pasif dan bahkan “manut” (tunduk pada pemimpin). Tapi sekarang lain. Di era dunia
tanpa batas, berbagai sumber perubahan dapat diperoleh dari berbagai penjuru dunia, terutama pasar dan pengalaman
negara-negara lain.
Agar iklim politik yang tidak kondusif terhadap perwujudan cita-cita mulia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD
1945 tersebut tidak berlarut-larut, ada beberapa pemikiran yang perlu ditawarkan dalam kesempatan ini:
Pertama, pemerintah secara terus-menerus menunjukkan komitmennya terhadap upaya perbaikan bangsa. Kalau pun
sampai sekarang masih bersikap reaktif, dan belum didasarkan pada visi, dan bahkan rencana tindakan yang jelas,
dalam jangka pendek ke depan, pemerintah harus segera merevisi pendekatan yang “tidak mau ambil resiko ini”. Rakyat
kebanyakan sebenarnya akan dapat bersabar dan mau mendukung pemerintah bila pemerintah pun konsisten di dalam
melaksanakan fungsinya. Transparansi persoalan publik telah mendidik rakyat, dan karenanya mereka akan dapat
mengerti bahwa persoalan yang dihadapi negara-bangsa ini sangat kompleks. Dengan kata lain, kejujuran, konsistensi,
dan kemauan kerja pemerintah yang cukup keras akan dapat mengamankan proses transisi yang sedang kita jalani
sekarang. Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 23 Mei 2008 serta alasan yang
melatar-belakanginya, mesti kita tunggu hasilnya kemudian.
Kedua, pemerintah dan para elit politik harus mulai melakukan perubahan tingkah laku (behavioral changes). Terutama
dalam kaitannya dengan gaya hidup masing-masing pejabat tinggi. Mulai dari presiden sampai ke anggota kabinetnya,
pimpinan partai politik dan tokoh panutan masyarakat lainnya, perlu meneladani sebuah cara memerintah yang empati
terhadap krisis dan nasib masyarakat kebanyakan. Pendekatan elitis harus disingkirkan, bukan hanya sekedar pidato atau
menjalankan berbagai acara yang seolah bernuansa populis, namun melaksanakannya secara sistemik dan
melembaga. Aturan baru dibuat dan dilaksanakan, sehingga akan dijadikan pegangan semua pihak dalam masa-masa
selanjutnya. Depersonalisasi kekuasaan harus menjadi semangat para penyelengara negara dalam mengembangkan
berbagai kebijakan publik.
Ketiga, pemerintah tidak melihat persoalan ekonomi bangsa ini dari sekedar kacamata ekonomi murni. Bila kekurangan
anggaran selalu dikompensasi dengan pengurangan subsidi, bukan penegakan hukum dan hidup lebih berhemat,
rasanya, masyarakat paling bawah akan terus menderita. Dan ini sangat potensial untuk membangkitkan radikalisasi
massa. Bagi mereka yang ingin menggunakan kesempatan di balik kesempitan, jelas mendapat keuntungan untuk
membalikkan keadaan, dengan mengatakan bahwa pemerintah tidak well performed. Pemerintah mesti menerapkan
prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) secara konsekuen dan konsisten. Akibatnya, perlu
segera diadakan reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh. Dalam menghadapi berbagai kesulitan anggaran,
pemerintah mesti menjadi pionir untuk menerapkan apa yang dikatakan sebagai “anggaran berbasis kinerja” (money
follows function). Pemangkasan lembaga negara yang tidak diperlukan, menjadi agenda utama pemerintah. Semangat ini
pun mesti ditiru oleh Lembaga Perwakilan Rakyat kita. Ketika sumber dana pembangunan makin berkurang, DPR harus
menjadi contoh untuk melakukan penghematan, bukan mendemonstrasikan kekuasaan. Struktur lembaga ini mesti
dirampingkan, dan kinerjanya ditingkatkan. Orientasi pada “bagi-bagi kekuasaan” harus ditinggalkan. Untuk apa struktur
kepemimpinan MPR masih dipertahankan seperti sekarang. Melihat beban kerja MPR dewasa ini, rasanya negara terlalu
mahal untuk membayarnya.
Keempat, pendekatan yang sifatnya “Jakarta Sentris” (Centered Bias) harus dipadukan dengan pendekatan yang
memperhatikan kepentingan lokal serta masyarakat. Demokratisasi meniscayakan hilangnya monopoli penafsiran dan
kekuasaan. Keadilan dan pembagian (sharing) antar komponen bangsa di seluruh Indonesia harus dijadikan paradigma
utama dalam mempertahankan eksistensi nasionalisme ke Indonesiaan yang menghargai ke-Bhinneka-an dan ke-
Tunggal Ika-an. Dengan kata lain, krisis kepercayaan (crisis of trust) antara elit dengan massa, intra pemerintah sendiri,
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara negara dan masyarakat, antara partai politik dengan civil
society, antara pengusaha dengan buruh, serta intra masyarakat itu sendiri, mesti dihilangkan.
Memang tidak keliru bila di dalam menilai politik Indonesia, kita selalu berpegang pada keberadaan dan nasib seorang
presiden beserta jajaran pemerintahannya. Karena latar belakang kita yang sangat state centered dan bureaucratic state,
maka gonjang-ganjing politik senantiasa dimulai dari sana. Betapa besarnya peran negara dalam mengarahkan
perubahan sosial, serta kekayaan yang dimilikinya untuk menjalankan fungsi tersebut, negara, khususnya pemerintah
masih tetap menjadi wilayah yang paling menarik banyak pihak. Perlombaan untuk memperoleh akses ke dalamnya
nampaknya masih tetap berlangsung. Tidak terlalu mengherankan bila sekarang mulai berkembang berbagai manuver
politik dari sementara tokoh “tua” dan “generasi muda” yang mempersoalkan suksesi kepemimpinan pada 2009
mendatang. Ada keengganan untuk berestafet politik, di satu pihak, juga ada kecurigaan pelanggengan kekuasaan di
pihak lain. Padahal masalah negara bangsa sekarang sudah jauh dari itu. Masih dominannya negara, tetap menjadi
kekuatan yang dapat menyihir semua orang yang terobsesi dengan kekuasaan.
2. Pembahasan
Budaya
merupakan suatu kebiasaan yang mengandung nilai-nilai yang diturunkan kepada
setiap generasi kegenerasi agar dapat dipelajari dan dilestarikan oleh generasi
berikutnya. Dapat diartikan bahwa budaya Indonesia merupakan suatu kesatuan
yang berasal dari setiap daerah yang berada pada wilayah NKRI. Kebiasaan
tersebut mengandung nilai-nilai luhur yang mencerminkan identitas daerahnya
masing-masing.
Seiring
dengan perkembangan zaman yang semakin berkembang, kebudayaan dari luar pun
ikut masuk ke Indonesia. Style atau gaya yang ikut masuk sangat
mempengaruhi kaum muda yang ada. Mulai dari cara berpakaian, berbicara,
aliran musik, dan juga tingkah lakunya sudah mengikuti budaya luar. Tak heran
sekarang ini budaya Indonesia hampir tidak ada yang mengetahuinya terutama
anak-anak muda. Mereka mulai meninggalkan budaya bangsa dan lebih memilih budaya
luar, dengan beralasan karena budaya Indonesia itu kurang menarik. Bagi,
kaum muda yang mmemiliki pemikiran yang tidak stabil kebudayaan Indonesia
dirasa masih tertinggal dari kata moderen. Hal inilah yang menyebabkan kaum
muda lebih memilih kebudayaan luar. Dengan adanya pemikiran yang seperti itu,
maka budaya Indonesia tidak akan berkembang tanpa adanya peran serta dari
kaum muda. Pentingnya anak-anak muda zaman sekarang mengenal budayanya sendiri
dapat menjadikan Indonesia menjadi negara luhur yang masih mempertahankan
kebudayaan aslinya.
Oleh
karena itu, kita harus mengetahui cara agar budaya lokal agar dapat
mengembalikan rasa cinta terhadap budaya lokal. Cara menumbuhkan budaya lokal
tidaklah sulit. Para kaum muda dapat menerima pelajaran muatan lokal (kesenian)
berbasis pelestarian seni budaya setempat. Didalam pelajaran kesenian
kaum muda dapat di kenalkan dengan budaya-budaya dari berbagai daerah yang ada
di Indonesia. Pentingnya budaya lokal (budaya Indonesia) terhadap kaum muda
bertujuan untuk membentuk karakter kaum muda Indonesia.
3. Kesimpulan
Tidak
dipungkiri banyak sekali dampak dari era globalisasi. Tidak hanya teknologi
yang semakin meningkat, kebudayaan pun terkena dampak dari globalisasi
tersebut. Indonesia memang memiliki banyak kebudayaan yang ada. Akan tetapi,
kaum muda yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa ini kurang melirik kebudayaan
asal negaranya sendiri. Mereka lebih menikmati kebudayaan yang berasal dari
luar. Oleh karena itu, pemberian pelajaran ataupun mata kuliah muatan lokal
(kesenian) harus diberikan kepada kaum muda. Agar mereka dapat mengerti,
menerapkan, dan juga melestarikan kebudayaan yang ada pada bagsa Indonesia.
Referensi: